Depok,
Kemendikbud--Efektivitas Birokrasi Pendidikan dengan pelibatan publik
menjadi pokok pembahasan dalam Sidang Komisi VII Rembuk Nasional
Pendidikan dan Kebudayaan (RPNK) 2015 yang berlangsung di Bojongsari,
Depok, 29-31 Maret 2015. Sidang Komisi VII yang dipimpin Inspektur
Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Irjen Kemendikbud)
Haryono Umar, mengemuka pentingnya untuk mengefektifkan layanan perlu
pelayanan terpadu satu pintu dengan pembentukan lembaga atau unit
penanganan pengaduan di masing-masing daerah dan di pusat.
Haryono Umar memaparkan, sebanyak Rp 406,70
trilyun yang digelontorkan untuk pengelolaan Anggaran pendidikan dari Rp
1.994, 89 trilyun Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP)
di tahun 2015, sebanyak 62.5 persen untuk belanja transfer daerah. Dana
transfer ke daerah itu mencakup anggaran pendidikan dalam Dana Bagi
Hasil, Dana Alokasi Khusus Pendidikan, dana tambahan penghasilan guru
Pegawai Negeri Sipil Daerah, tunjangan profesi guru, anggaran pendidikan
dalam otonomi khusus, dana insentif daerah, dan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS).
Pelibatan Publik
Terungkap, dengan begitu besarnya anggaran
transfer ke daerah (62,5 persen dari Rp 406,70 trilyun) ternyata Rp
406,70 trilyun pengawasan anggaran ini di daerah-daerah belum efektif.
Hal itu antara lain karena lemahnya pengawasan internal di setiap
lembaga yang menangani pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan
kurangnya Sumber Daya Manusia pengawas di daerah. Sehingga, pelibatan
publik turut mengawal dan mengawasi pelaksanaan dana transfer daerah
yang begitu besar menjadi amat penting. Sedangkan, sebanyak 37,5 persen
untuk belanja pemerintah pusat yang mengelola pendidikan, mencakup
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi, Kementerian Agama, dan Kementarian/Lembaga lainnya.
Kebijakan umum pemanfaatan anggaran pendidikan
berpedoman kepada tiga kebijakan. Pertama, kebijakan Nawacita, mencakup
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, melakukan revolusi karakter bangsa, dan memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Kedua, arahan khusus presiden, berupa Wajib Belajar 12 tahun, Kartu
Indonesia Pintar, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pariwisata dan
Kelautan atau maritim, dan pendidikan di daerah perbatasan, Papua, Papua
Barat dan pedalaman. Ketiga, program generik Kemendikbud, yaitu berupa
penguatan kapasitas aktor pendidikan, peningkatan akses dan mutu
pendidikan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan; khususnya
pariwisata, dan penguatan tata kelola dan partisipasi publik.
Berdasarkan program generik Kemendikbud, komisi
VII pun mengangkat sejumlah isu, yaitu (1) tata kelola. Pada tema ini,
komisi VII memfokuskan kepada perubahan struktur organisasi Kemendikbud,
dan implementasi UU No. 23 Tahun 2014; (2) efektivitas birokrasi
mencakup pelayanan penilaian angka kredit, pelayanan pengaduan
masyarakat, optimalisasi pemafaatan Jaringan Pendidikan Nasional,
pelayanan terpadu satu pintu, optimalisasi Data Pokok Pendidikan; (3)
pelibatan/partisipasi publik yang dikhususkan pada pendanaan pendidikan,
dan peningkatan peran komite sekolah; (4) pengawasan dalam bentuk
penerimaan murid baru, pengawasa dana transfer daerah, dan peningkatan
kualitas pengawasan dana pendidikan.
Sehingga, pembahasan pada komisi VII secara garis
besar terbagi ke dalam 12 hal, yaitu perubahan struktur organisasi
Kemendikbud, implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, pelayanan
penilaian angka kredit, pelayanan pengaduan masyarakat, optimalisasi
pemanfaatam jaringan pendidikan nasional, pelayanan terpadu satu pintu,
optimalisasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik), pendanaan pendidikan,
peningkatan peran komite sekolah, penerimaan murid baru, pengawasan dana
transfer daerah, peningkatan kualitas pengawasan dana pendidikan.
Belum ada tanggapan untuk "Komisi VII RNPK 2015 Layanan Satu Pintu dan Pelibatan Publik untuk Tata Kelola dan Efektivitas Birokrasi Pendidikan"
Post a Comment